Minggu, 01 Agustus 2010

Warung Kecil di Cendana


Lantunan doa-doa usai sembahyang magrib, masih berkumandang dari sebuah mesjid di Komplek Perumahan Kayu Tangi II, saat beberapa penghuni satu rumah kos di kawasan itu, asyik menonton tayangan dari televisi berukuran 14 inchi.

Di antara para lelaki penghuni kos, beberapa dari mereka sesekali melirik ke jam dinding persis di atas televisi. Jarum jam terus berdetak konstan, melintasi waktu usai menunjuk pukul 18.40 WITA.

Beberapa penghuni kos lainnya mulai berdatangan. Kemudian bergabung bersama. Ada yang menyempil duduk di sofa berwarna merah dengan banyak bercak kotor hitam. Ada pula yang memilih berdiri bersandar di dinding dengan mata tertuju ke televisi.

Jarum jam terus berdetak. Usai perbincangan singkat, bernada mengajak, beberapa dari penghuni kos itu, seolah dikomando, melangkah pergi. Sebelumnya, sempat terdengar percakapan dua orang di antara mereka.

“Tav, gw nitip nasi ya. Biasa,” kata Ian, seorang penghuni kos, bertelanjang dada, sambil menyerahkan sejumlah uang kepada Gustav, teman kosnya.

Setelah melewati tiga kelokan, dengan berjalan kaki, mereka sampai di Jalan Cendana. Di kawasan itu, berjejer warung-warung menjual makanan dan minuman. Biasanya, di jam-jam makan, siang atau malam, kawasan ini selalu ramai.

Jarum jam masih terus berdetak, bersama malam yang belum lagi meninggi. Para penghuni kos yang berjalan kaki tadi, sampai ke tujuan, warung kecil di Cendana. Tapi mereka harus antri. Penjual di warung itu, masih melayani pembeli lainnya yang datang lebih dulu.

Di sela menunggu, biasanya mereka memilih di luar warung sambil berbincang. Topiknya, mulai dari mata kuliah di kampus dan ekstrakulikulernya. Tapi, tak jarang pula soal gadis pujaan yang menjadi topik obrolan.

Memang saat itu, untuk mengisi waktu antrian, hanya bisa salah satunya dengan ngobrol. Karena, kala itu, sekitar tahun 2000-an awal, belum ada HP untuk SMS-an. Apalagi BlackBerry, belum diproduksi. Jadi jangan bayangkan saat itu mereka asyik BBM-an.

Kebanyakan pelanggan warung-warung ini adalah para mahasiswa penghuni kos di sekitar kawasan itu. Khususnya, yang uang kiriman bulanan dari orangtua mereka pas-pasan. Karena harga makanan di warung-warung ini relatif murah.

Warung-warung ini memang menjual menu makanan beragam. Tapi ada satu menu khusus, yang dijual hampir di semua warung, yaitu ayam goreng tepung. Soal harga, bersaing dengan warung di kawasan lain.

Memang, nyaris setiap tahun, harga makanan di warung-warung ini selalu naik. Pernah dulu, untuk satu porsinya seharga Rp 900. Kemudian tahun berikutnya naik menjadi Rp1.300, selanjutnya Rp5.000 sebagai harga terakhir sebelum warung-warung ini digusur.

***

Ya, sejak Senin 2 Agustus 2010, pedagang yang menempati warung-warung ini dilarang berdagang. Adalah Pemko Banjarmasin, melalui surat walikotanya, membuat perintah pembongkaran warung-warung ini. Alasannya, membuat macet dan tidak sesuai tata kota.

Padahal, menurut banyak orang, termasuk para mahasiswa yang biasa membeli makanan di warung-warung ini, kepadatan lalu lintas di kawasan itu, tak menggangu. Entah soal tata kota, memangnya ada kawasan di Banjarmasin yang tertata baik.

Bersamaan dengan di bongkarnya warung-warung itu, kini tak ada lagi ayam goreng cendana. Bahkan mungkin tak ada lagi makanan yang harganya cocok untuk kantong anak kos, paman becak, tukang becak dan banyak lagi orang mendambakan makanan murah.

Yang ada, mungkin sedikit kenangan akan warung kecil di Cendana. Kenangan seperti tersimpan di benak sekelompok penghuni kos, yang banyak menghabiskan malam mereka berjalan kaki menuju warung cendana, setelah melewati tiga kelokan.

Atau, kenangan tentang nasi titipan yang tak kunjung datang dan malah berubah menjadi sabun deterjen.
“Nasi gw mana Tav?” tanya Ian kepada Gustav yang kemudian balik bertanya. “Emang lu tadi nitip nasi? Bukannya nitip sabun. Lupa gw, seinget gw, lu tadi nitip sabun,” kata Gustav menyerahkan sabun deterjen ke Ian, usai memukul dahinya sendiri dengan tangannya.