Kamis, 24 Januari 2008

Guru, Perjuangan Dan Musuh Bersama

Guru, Perjuangan Dan Musuh Bersama

Oleh: Erdeny M Yunus

Di negeri ini Republik Indonesia, profesi guru masih kerap digamkan dengan sosok seorang pekerja yang naik sepeda kumbang butut. Ini bukan karena seorang guru adalah sosok yang peduli terhadap tercemarnya lingkungan akibat polusi kendaraan bermotor. Atau, bukan karena guru adalah sosok teladan yang ikut menggalakkan program mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga. Sekali lagi bukan. Tapi ini lebih dikarenakan, jumlah guru yang diasumsikan sekitar 1,6 juta, sebagian besar mereka dari sisi ekonomi kehidupannya jauh dari kata sejahtera.

Banyaknya guru yang tidak sejahtera, bukan satu-satunya persoalan pendidikan nasional yang tengah dihadapi negeri ini. Tidak sampainya dana pendidikan untuk memperbaiki gedung sekolah yang nyaris roboh. Minimnya alokasi dana pendidikan yang disediakan pemerintah untuk memperbaiki atap sekolah yang bocor ketika hujan turun. Atau juga ketidakmampuan orangtua untuk menyekolahkan anak mereka, karena mahalnya biaya pendidikan. Hal ini pun mewarnai persoalan pendidikan nasional, dan tentunya banyak lagi.

Oleh banyak kalangan, pemerintah dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan ini. Ya, pemerintah memang pihak yang paling bertanggungjawab, selain masyarakat, semua bangsa Indonesia. Karena suka atau tidak suka, pendidikan dan peran seorang guru menjadi salah faktor yang berperan bagi manusia mempelajari banyak hal dan mewujudkan cita-cita yang diinginkannya kelak.

Kalau saja, pemerintah sekarang mau sedikit menengok sejarah negeri ini. Tentu sebagai seorang yang memiliki pendidikan cukup, pemimpin bangsa Indonesia sekarang bukan orang yang buta sejarah. Hanya, entah sengaja atau tidak, mereka seakan kurang memahami makna peristiwa sejarah yang dilakukan tokoh pendiri bangsa ini dalam merebut kemerdekaan.

Misalnya, yang dilakukan Bung Hatta ‘pascaperpecahan’ Partai Nasional Indonesia yang didirikan Bung Karno pada 4 Juli 1927 yang awalnya bernama Perserikatan Nasional Indonesia. Bung Hatta memerintahkan Sutan Sjahrir, temannya sesama mahasiswa Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda, pulang ke Indonesia untuk membentuk dan memimpin Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru, sekitar 1930-an.

Didirikannya PNI Baru dengan maksud membantu golongan merdeka eks PNI yang tak mau masuk Partai Indonesia (Partindo), dalam merumuskan asas perjuangan dan program politik PNI Baru yang didirikan sebagai organisasi pendidikan kader politik untuk perjuangan kemerdekaan, kedaulatan rakyat dan martabat manusia.

Bung Hatta yang kemudian menggantikan Bung Sjahrir memimpin PNI Baru usai studi di negeri Belanda, harus rela berurusan dengan pemerintah kolonial dan bahkan diasingkan ketika itu.

Ketika itu banyak wadah perjuangan lain yang menjadikan pendidikan sebagai bagian dari garis perjuangan mereka. Tentunya adalah pendidikan politik, karena sesuai dengan kondisi saat itu. Muncul keinginan besar untuk menjadi bangsa yang merdeka bebas dari kekangan penjajah. Dengan berbagai garis perjuangan itu pula, salah satunya pendidikan, pemimpin ketika itu berhasil mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan.

Untuk itu, sudah sepantasnya generasi sekarang mengisi kemerdekaan seperti yang dicita-citakan pemimpin terdahulu. Salah satunya dengan menciptakan pendidikan yang lebih baik guna mencapai kesejahteraan rakyat.

Susah, kalau hanya berharap kepada pemerintah. Lihat saja beberapa kali pergantian tampuk kepemimpinan, kesejahteraan guru hanya sampai pada janji kampanye, tidak lebih. Setiap kali musim pemilu dan pilkada yang baru pertama kali dilaksanakan di negeri ini, semua pasangan calon menjanjikan memperhatikan nasib guru, memperbaiki pendidikan bahkan ada yang menjanjikan sekolah gratis. Hasilnya, kesejahteraan guru tak kunjung terwujud, pendidikan nasional juga tak beranjak dari segala carut marutnya.

Di berbagai kesempatan, guru terus menuntut pemerintah agar lebih peduli terhadap nasib mereka. Tampaknya perjuangan menuntut perbaikan kesejahteraan, menjadi tekad guru sekarang. Selain tugas utama mereka sebagai seorang pendidik. Tapi bukannya mendapat tanggapan positif, malah mendapatkan jawaban dari seorang pemimpin bahwa guru itu tak seharusnya mengeluh.

Disahkannya UU tentang Guru dan Dosen, dinilai banyak kalangan mengecewakan, karena sangat jauh dari semangat naskah awal RUU (Kompas, Rabu, 7/12). Disebutkan, gaji guru ditetapkan sebesar dua kali gaji pokok PNS plus tunjangan fungsional sebesar 50 persen dari gaji pokok PNS. Setelah disahkan menjadi UU, disebutkan pemerintah hanya akan memberikan subsidi tunjangan profesi kepada guru swasta. Berapa besar tunjangan itu, tidak disebutkan.

Belakangan, ada tingkah oknum guru yang menciptakan sikap kurang simpatik masyarakat terhadap profesi guru. Di tengah mahalnya biaya sekolah, ada saja guru yang memaksa siswa untuk membeli buku pelajaran, hanya karena si guru ingin mendapatkan keuntungan (fee) dari penerbit. Atau yang lebih menyedihkan, adanya oknum guru yang mengajak siswinya berpesta gituan. Tapi suka atau tidak suka, pada prinsipnya guru adalah satu faktor yang cukup mempengaruhi pembangunan sumber daya manusia bangsa ini kelak.

Ada baiknya kalau guru tidak mudah percaya terhadap janji pada masa kampanye baik pemilu maupun pilkada, dan tidak terlalu berharap kepada pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi ini melalukan program yang dapat menyejahterakan anggotanya. Berharap kepada pemerintahan hanya sebuah mimpi.

Melalui organisasi profesinya, misalnya, guru menyusun barisan dan menciptakan ‘musuh bersama’. Biasanya, dengan menciptakan ‘musuh bersama’, sebuah perjuangan akan berjalan lebih efektif. ‘Musuh bersama’ itu adalah mereka yang selama ini dianggap kurang peduli dan tidak memperhatikan nasib guru, bahkan terkadang melecehkan.

Tidak perlu jauh-jauh dalam menciptakan ‘musuh bersama’ ini, karena mereka yang dianggap layak untuk dijadikan ‘musuh bersama’ itu tak lain ada di negeri ini, bagian dari bangsa ini. ‘Musuh bersama’ itu adalah mereka yang mengatasnamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat dengan iming-iming Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang sebelumnya menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Dengan dalih, subsidi BBM hanya menguntungkan orang kaya. Kemudian mengalihkan subsidi itu ke bidang pendidikan dan kesehatan yang hingga kini masih terus bermasalah.

Atau mereka yang dengan dalih menekan inflasi, mengeluarkan kebijakan impor beras. Sementara petani kalang kabut karena harga beras mereka bakal anjlok di pasar. Merekalah ‘musuh bersama’ yang harus dilawan guru, buruh, petani dan rakyat miskin lainnya.

* Alumnus Fisip Unlam Banjarmasin
tinggal di Banjarmasin
e-mail: deny_yunus@yahoo.com

Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Rabu, 14 Desember 2005 00:55

Tidak ada komentar: