Senin, 15 Desember 2008


Kepala Kejaksaan Tinggi Kalsel, Drs Salman Maryadi SH

Mari Keroyok Korupsi!

Mengawali karir di Kejaksaan Agung pada tahun 1980, tugasnya kala itu meneliti barang-barang cetakan terkait masalah keagamaan. Pekerjaan itu sesuai pendidikannya, sarjana Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kemudian pada 1987-1988, dia diangkat menjadi jaksa. Itu berkat keuletannya, bekerja sambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta.

Dia adalah Drs Salman Maryadi SH. Kini pria ini menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Kalsel. Sebagai jaksa karir, pria kelahiran Maduretno, sebuah desa di kaki Gunung Sumbing, Magelang, Jawa Timur ini, telah menangani berbagai macam perkara. Mulai dari penyelundupan, korupsi, perbankan hingga perkara terorisme.

Sosoknya semakin dikenal ketika menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Selama empat tahun, 2001-2005, tidak kurang 15.000 perkara yang ditangani Kejari Jakarta Pusat. Mulai dari perkara kelas teri hingga perkara orang-orang besar negeri ini. Seperti Tommy Soeharto, Probosutedjo, dan Abu Bakar Ba'asyir. 

Itu sebabnya dia sempat dijuluki jaksa seribu perkara. Apalagi Salman tidak hanya duduk manis di belakang meja. Dia ikut terjun ke pengadilan, menjadi jaksa penuntut umum seperti dalam perkara Abu Bakar Ba'asyir jilid II. 

Saat menjabat Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, dia pernah menghadapi masalah serius. Dicurigai menerima aliran dana Bank Indonesia (BI) sebesar 900 ribu dolar AS. Jika di-kurs-kan dalam rupiah dengan asumsi Rp10 ribu saja per satu dolarnya, berarti Rp9 milyar. Tuduhan itu memang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) kesaksian mantan Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, yang menyebutkan menyerahkan uang “panas” itu kepada Salman, saat menjabat Kajari Jakpus. 

Namun, keterangan itu dicabut dalam persidangan. Iwan R Prawiranata merasa mendapat tekanan dari dirinya sendiri. Salman pun menjernihkan namanya dengan memberikan klarifikasi kepada Jaksa Agung Hendarman. 

Lolos dari kasus itu, Salman yang sempat merasa dizalimi dan kemudian menyatakan dirinya clean, kemudian dipromosikan sebagai Kajati Kalsel. Pelantikannya berlangsung di ruang Baharuddin Lopa, Gedung Kejaksaan Agung, di Jakarta, Kamis 21 Agustus 2008. 

Kini, saat menjabat Kajati Kalsel, Salman mengaku tetap menjunjung tinggi profesionalisme dan keadilan. Termasuk pemberantasan tindak pidana korupsi. Bagaimana sikapnya terhadap kasus-kasus yang menjadi salah satu penyebab kerugian negara ini, berikut petikan wawancaranya dengan Deny M Yunus, wartawan Sinar Kalimantan, Jumat (12/12) pagi. 

Apakabar Pak?
Baik
Bagaimana Pak, kerasan bertugas di Banjarmasin?
Ya, saya enjoy
Tentang target kejaksaan dalam kasus korupsi. Bagaimana penerapannya di Kalsel?
Memang ada kebijakan pimpinan untuk memberi semangat jajaran kejaksaan di seluruh Indonesia. Yaitu target 5-3-1. Di Kalsel, target itu sudah lebih untuk tahun ini. Di Kejati sendiri, yang targetnya lima, malah sekarang sudah menangani tujuh kasus korupsi. Bahkan ada tiga yang masih penyidikan.
Untuk target kejari di Kalsel?
Sebagian besar memenuhi target. Hanya satu, yaitu Amuntai. Itu karena kepala kejaksaan negerinya memasuki masa pensiun, agak sulit mengejar karena keterbatasan waktu. Tapi penggantinya dalam waktu sebulan ini, kelihatannya bisa memenuhi. Karena penyidikan sudah berjalan, ada dua perkara yang ditangani.
Bapak merasa terbebani atau tidak dengan target itu?
Tidak ada, semua berjalan, running well. Dan selalu saya kontrol atau disupervisi penanganan kasusnya. Sehingga yang tadinya kelihatan lamban, dengan supervisi, jadi lebih cepat. Contoh di Pelaihari, dalam waktu dua bulan, ada dua perkara yang dinaikkan ke penuntutan. Di Kandangan, malah empat perkara dalam dua bulan. Apalagi pada 9 Desemeber kemarin, saya melantik Tim Satuan Khusus Penanganan Tindak Pidana Korupsi. Jadi penanganan kasus korupsi akan semakin tajam. Sepuluh orang dalam tim itu, seperti pemain penjelajah di permainan sepak bola. Mereka bisa dimainkan dimana saja, apakah di beck, sayap kanan atau sayap kiri. Mereka bisa dikirim ke Kotabaru, Barabai dan Tanjung, misalnya. Dimana saja kejari yang memerlukan.
Ada anggapan target ini terkesan mencari kesalahan, menurut Bapak?
Saya tidak sependapat dengan itu, karena semua yang kami lakukan banyak mencapai persidangan. Perkara itu, khususnya korupsi, tidak bisa dicari-cari. Itu akan berbunyi. Sudahlah, kata-kata seperti direkayasa atau disponsori pihak ini dan pihak itu, tidak bisa. Dalam perkara korupsi, yang bicara alat bukti. Mau diminta atau didemo, tapi kalau alat buktinya tidak berbunyi atau bicara, tidak bisa diteruskan. Yang menjadi tolak ukur adalah alat bukti. Kalau memang satu kasus, misalnya laporan masyarakat, kemudian kita lakukan penyelidikan, buktinya tidak ada. Itu bisa hanya sebatas rumor, fitnah atau asal-asalan. Kami akan seleksi betul. Istilahnya mengejar target dengan asal-asalan, itu tidak bisa, yang berbicara adalah alat bukti.
Penanganan korupsi menjadi fokus kejaksaan dan menjadi perhatian masyarakat. Untuk korupsi, kejaksaan bisa jadi serius, tapi untuk kasus lain? 
Saya menepis anggapan adanya jaksa yang bermain di tindak pidana di luar korupsi, karena tidak menjadi perhatian. Tindak pidana umum, tetap kami tangani serius dan awasi. Misalnya illegal logging, Bahan Bakar Minyak (BBM), dan narkoba, tuntutannya tetap dikontrol dari sini. Semuanya divonis penjara. Saya selaku Kepala Kejati Kalsel selalu mengontrol. 
Selama ini, ada kecurigaan jajaran Bapa, ada yang bermain?
Sampai saat ini, saya memberikan motivasi kepada jaksa, bekerja sesuai arahan pimpinan, profesional dan adil. Tidak pernah ada komplain jaksa melakukan tindakan tercela dalam penanganan perkara. Saya betul-betul mengawasi. Kalau jaksa ada kesulitan, silahkan briefing dengan Kajati, tidak masalah. Dalam hal tertentu, misalnya perlu solusi tercepat, silahkan. Saya membuka diri, saya harus memberikan contoh, transaparansi kepada semua jajaran. Kajari, kepala seksi, dan jaksa fungsional.
Kalau ada jaksa nakal? 
Kita pasti ambil tindakan, diawali pemeriksaan. Tidak bisa langsung divonis. Ada pengawasan, untuk dilakukan pemeriksaan. Nanti fokus yang dipermasalahkan dan pihak yang terkait objek itu, juga diperiksa. Untuk mencari alat bukti. Kalau terbukti bisa dipecat. Saat ini, banyak yang mengirim surat kaleng. Tapi karena masalah pribadi, tidak bisa dikaitkan dengan dinas. Jadi tidak bisa ditindaklanjuti.
Tentang tahapan pengadilan, selama ini vonis kasus korupsi yang dijatuhkan hakim masih dianggap rendah?
Menurut saya, jaksa posisinya selaku penuntut umum. Dalam perkara korupsi, oleh undang-undang bisa sebagai penyidik dan penuntut umum, ini ada ranahnya sendiri. Dalam hal ini, jaksa menyampaikan tuntutan setelah ada pendapat memenuhi unsur tindak pidana itu. Dengan pertimbangan meringankan dan memberatkan, melakukan penuntutan.
Hakim juga punya kewenangan sendiri dalam memutuskan. Tidak mesti sejalan dengan jaksa, karena memang itu wewenang hakim. Kami tidak bisa mencampuri. Tetapi selama ini, tuntutan jaksa di persidangan, divonis hakim sudah dengan profesional dan adil.
Memang ada, misalnya tuntutan 10 tahun dan kemudian diputus enam tahun, seperti kasus dengan terdakwa Edwan Nizar. Hakim punya pertimbangan, kita nggak bisa protes. Itu wewenang hakim, hanya saja kita bisa menempuh upaya lain, misalnya banding. Secara umum, keputusan hakim dalam perkara koruspi sudah bagus. Hakim sangat tahu, malahan pemeriksaan di persidangan, kadang lebih detail untuk mengungkap alat bukti.
Kalau dengan kepolisian, terkait kasus runway Bandara Syamsudin Noor?
Anatara peyidik kepolisian dan kejaksaan adalah sama. Polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut. Masalah kasus bandara, memang ada berkas yang sampai ke pengadilan. Tapi ada berkas lain, juga pernah diserahkan disini dan pernah digelar diekspos yang saya pimpin. Kami jauh ke depan, berpikir dakwaan dan tuntutan di persidangan. Supaya terbuka untuk umum. Atas dasar ada kekurangan alat bukti maka dikembalikan, tapi bukan sekadar dikembalikan, karena dilengkapi materi apa yang perlu dikembangkan. Kalau mereka sudah memenuhi, tidak masalah.
Tidak takut dianggap tidak menindaklanjuti kasus ini, karena polisi yang menangani?
Itu sudah terbantahkan dengan berkas pertama yang sudah ke persidangan. Anggapan itu dengan sendirinya rontok. Karena satu perkara sudah dilimpahkan, tidak bisa dicari-cari. Alat bukti yang bicara. Kita transparan. Kalau tidak cukup, ya tidak bisa.
Polisi juga memasang target, ada persaingan dengan polisi?
Kalau kompetisinya positif boleh-boleh saja. Kasus korupsi memang harus dikeroyok. Saya sependapat, mari keroyok korupsi. Ini bukan persaingan. Ya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), jaksa dan polisi, supaya jangan ada lagi korupsi. Sekali lagi, mari kita keroyok korupsi.
Tanggapan masyarakat selama ini?
Mereka menyambut baik, selama ini saya banyak dapat surat memberi support dan ucapan terimakasih. Itu memberi dorongan kepada kejaksaan, karena artinya kerja kami mulai mulai terlihat. Hampir tiap hari di media selalu ada action kejaksaan dalam korupsi. Saya perlu kontribusi anda sebagai wartawan dan masyarakat luas. Mari sama-sama. Kami yakin pers mendukung, ini progam kita semua, progam rakyat Indonesia.
Untuk mereka yang cenderung bisa melakukan korupsi?
Korupsi bukan hanya cenderung dilakukan pejabat negara atau penyelanggara negara. Karena undang-undangnya untuk semua orang. Gratifikasi dan suap tidak memandang swasta atau sipil. Semua bisa kena.
Selama menjadi jaksa, pernah diteror?
Pernah, tapi tidak masalah. Selama berjalan dengan kebenaran, saya yakin Allah SWT selalu melindungi. Seperti ayat dalam Al Quran, “Katakanlah, kebenaran itu pasti akan datang, dan kebatilan pasti akan hancur”. Itu pegangan saya. Selain itu, seperti pesan Jaksa Agung, seribu sahabat masih kurang. Tapi satu musuh terlalu banyak. Karena musuh kita ini adalah perbuatan melanggar hukum. Istilahnya, jaksa tidak akan mencari musuh, semua dianggap sahabat. Tapi kalau ada pelanggaran hukum, itu musuhnya. Jadi yang menjadi musuh adalah perbuatannya bukan pribadinya.
Sejauh ini, Bapak optimis dengan jajaran kejaksaan di Kalsel?
Saya optimis. 


 

Sabtu, 13 Desember 2008

Dukung Gugat PLN

Hal ini disampaikan pengamat hukum, H Andi Chadari Daeng Pabeta, Kamis (11/12). 
“Dalam hukum perdata di negeri ini, tindakan itu memungkinkan dilakukan. Masyarakat patut mendukung gugatan itu,” kata Daeng.

Daeng menilai gugatan class action yang dilakukan sejumlah konsumen listrik diwakili pengacara Fauzan Ramon terhadap PT PLN, merupakan tindakan yang dibenarkan secara hukum.

Menurutnya, saat konsumen mengajukan permintaan penggunaan jasa listrik yang disediakan PT PLN, ada perjanjian yang harusnya sama-sama dipatuhi. Selama ini, masyarakat memenuhi kewajiban membayar tagihan. Namun ketika PT PLN melakukan pemadaman, masyarakat tidak mendapat konpensasi.

Menurut Daeng, gugatan itu patut didukung masyarakat. Meski demikian, banyaknya jumlah orang yang ikut dalam gugatan itu, tidak menjadi masalah. “Berapapun orang yang ikut menggugat tidak masalah. Tapi kalau ada yang sama-sama merasa dirugikan dan mendukung, silahkan saja ikut,” katanya.

Mengenai kompensasi atas gugatan itu, kalau nantinya dipersidangan dinyatakan diterima, hal itu berdasarkan tuntutan yang diajukan penggugat dalam perkara ini. “Tentunya dalam persidangan, penggugat harus bisa membuktikan terjadinya kerugian berikut fakta hukum,” ujar Daeng.

Seperti diberitakan Sinar Kalimantan, konsumen listrik di Banjarmasin dan sekitarnya yang mengalami kerugian akibat sering terjadi pemadaman, menggugat PT PLN di Pengadilan Negeri Banjarmasin, Rabu (10/12). Dalam gugatannya, mereka menuntut ganti rugi materil dan imateril.

Gugatan ini ditujukan terhadap PT PLN (Persero) Pusat Cq PT PLN Wilayah VI Kalimantan Selatan dan Tengah Cq PT PLN Cabang Banjarmasin. Gugatan class action (perwakilan kelompok) ini didaftarkan melalui Fauzan Ramon dan rekan yang menjadi tim kuasa hukum masyarakat sebagai penggugat. 

Dalam gugatan itu, penggugat mengaku mengalami kerugian material mencapai Rp595 ratus juta dan kerugian imateril diperkirakan mencapai Rp2 milyar. Sedikitnya ada 500 ribu konsumen listrik yang diklaim masuk sebagai penggugat dalam perkara ini. Mereka berdomisili di Banjarmasin dan sekitarnya. 

Sementara itu, Humas PT PLN Wilayah VI Kalimantan Selatan dan Tengah. H Laila Noor Efendi, belum bersedia menanggapi gugatan tersebut. Alasannya dia belum mengetahui persis gugatan tersebut. “Saya belum baca korannya, jadi mau jawab apa,” katanya ketika dihubungi vie ponselnya, Kamis (11/12) malam. ddn/SK

Sabtu, 30 Agustus 2008

marhaban ya ramadhan














Assalammu alaikum Wr. Wb,

Ramadhan sudah diambang pintu,
Jika Allah berkehendak InsyaAllah kita kan menemui Ramadhan penuh barokah.
Semoga Gelar taqwa InsyaAllah akan menjadi milik Kita yang berharga sebagai modal langkah kita selanjutnya

Salah paham, kesedihan, ego, sakit hati, adalah proses dari kehidupan kita.

Tapi Allah membuatnya dengan sangat sempurna, tidak ada yang sia - sia dari apa yang sudah Allah kemas dengan baik dalam bingkai rumah kehidupan kita Tidak ada yang lebih mulia pada hari dimana semua malaikat memanjatkan doa, dimana tidak ada kegiatan
baik yang tidak dilipat gandakan amalannya oleh Allah.

"MAKA NIKMAT TUHANMU YANG MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN..."

teringat ayat ini terus berulang di Ar-Rahman...
teringat kelemahan diri akan segala khilaf dan salah...
semoga Ramadhan ini membawa perbaikan, dan kesejukan...
seperti layaknya embun di pagi hari berkilau tertimpa cahya mentari...
semoga di masa mendatang terus dianugrahi kebeningan hati...
seperti layaknya telaga Kautsar..

Dengan segala kekurangan dan kerendahan hati serta keikhlasan dengan semua khilafan dan kelalaian yang pernah saya lakukan
baik secara langsung maupun lewat dunia maya, Jauh didalam hati yang senantiasa didalam genggaman Allah,


”MARHABAN YA RAMADHAN "

Selasa, 29 Juli 2008

Sungai Teluk Dalam yang Tak Lagi Dalam

Oleh Deny M Yunus

“Dulu saya biasa mandi di sungai itu. Tapi sekarang sudah tidak bisa. Airnya keruh, banyak sampah dan tak lagi dalam (dangkal,red),’’ kata Dino (33), warga Jalan Sutoyo S Gang Kenanga, Teluk Dalam, Banjarmasin Tengah.

Sungai Teluk Dalam, begitulah Dino dan masyarakat Kota Banjarmasin lainnya menyebut tempat yang menjadi bagian dari aktivitas kesehariannya dulu. Ketika air sungai itu masih jernih dan tak dangkal seperti sekarang ini.

Menurut Dino, dia masih ingat kenangan puluhan tahun silam, sejak bersama keluarganya bermukim di kawasan itu sekitar tahun 1979. ``Dulu airnya tidak sekotor seperti sekarang ini. Ketika itu sungainya lebar dan dalam,’’ katanya kepada Sinar Kalimantan Sabtu (26/7).

Saat itu sebagian besar warga di kawasan Teluk Dalam atau sepanjang Jalan Sutoyo S, menurut Dino, banyak bergantung pada sungai itu. Mulai dari mandi, mencuci, hingga berbagai aktivitas lainnya. Khususnya ketika air sungai itu sedang pasang.

Diakuinya, dia tidak mengetahui persis mengapa kawasan itu di sebut Teluk Dalam, seperti nama sungai di tempat itu. Mungkin, menurutnya, karena posisinya menjorok ke dalam dari Sungai Barito, hingga ke Pulau Tatas (kini kawasan Mesjid Raya Sabilal Muhtadin,red).

Menurut Dino, kebijakan Pemerintah Kota Banjarmasin di sekitar pertengahan tahun 1990-an, yang melebarkan badan Jalan Sutoyo S, menyebabkan terjadinya penyempitan. ``Sebelum pelebaran jalan, lebar sungai itu sekitar 10 meter. Tapi sekarang tinggal separuhnya,’’ kata Dino.

Kebijakan ini dinilainya memperparah kondisi sungai. Apalagi saat itu masih rendah kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai. Kesemrautan semakin nampak ketika bertambahnya jembatan di atas sungai.

Menurutnya, sebelum terjadi penyempitan, banyak kelotok (perahu bermesin,red) dan jukung (perahu kecil,red) lalu lalang di sungai ini. Biasanya, kata Dino, kedua jenis alat transportasi air itu digunakan mengangkut barang dagangan. Mulai dari sayur mayur, buah-buahan, kelotongan hingga barang keperluan sehari-hari lainnya.

Berbeda dengan saat itu, kini nasib Sungai Teluk Dalam tak banyak beda dengan sejumlah sungai lainnya di Kota Banjarmasin. Mengalami pendakalan dan penyempitan. Ditambah persoalan lain, yaitu banyaknya sampah yang menggenang.

Menurutnya, saat sungai itu masih dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai aktivitas, ada pemandangan kurang sedap. Seperti keberadaan jamban (WC). Karenanya ada saja sampah di sungai itu, tapi tak sebanyak seperti sekarang.

Mungkin, lanjutnya, karena saat itu jumlah penduduk di kawasan Teluk Dalam tak sebanyak sekarang ini. Selain itu, air di Sungai Teluk Dalam mengalir lancar, karena masih lebar dan tidak dangkal.

``Saat itu kelotok yang lewat masih bisa berselisihan, karena sungainya cukup lebar dan dalam. Tapi sekarang jangankan kelotok dan jukung, sampah kecil saja sulit untuk lewat karena sungainya sudah tidak dalam lagi,’’ kata Dino.

Minggu, 25 Mei 2008

Jenderal Pemegang 12 Tanda Jasa Itu Terbaring Sakit

Thamrin Junus
thamrin_yunus@yahoo.com

Sabtu 17 Mei 2008 lalu, merupakan hari bersejarah bagi masyarakat Kalimantan Selatan (Kalsel). Tepat di hari itu, masyarakat Kalsel memperingati 59 tahun Proklamasi Tentara ALRI Divisi IV Kalimantan Selatan. Proklamasi berisi permakluman Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Kalimantan Hasan Basry, akan kesetian rakyat Indonesia di Kalsel menjadi bagian dari Republik Indonesia, sejak saat itu.Sudah sepantasnya masyarakat Kalsel memperingati momen itu, mengenang semangat para pahlawan Banua turut mempertahankan kemerdekaan negeri ini.

Sepantasnya pula, selain mengenang semangat perjuangan mereka, adalah menghargai mereka yang turut berjuang ketika itu. Diantara para tentara yang terlibat dalam perjuangan kala itu, sosok Brigadir Jenderal Purnawirawan TNI AD Zagloelsyah HA adalah salah satunya. Sayangnya, sosok yang tersisa ini seolah terlupakan.Bisa jadi karena kiprahnya yang lebih banyak di Jakarta. Atau mungkin karena sikapnya yang sederhana dan rendah hati. Padahal dalam karir militernya, dia merupakan pemegang 12 tanda jasa perjuangan revolusi kemerdekaan RI.

Lahir 12 September 1927 di Banjarmasin, dengan nama Akbar Zagloelsyah Raden Adipati Danoeraja, dia merupakan seorang keturunan raja Kerajaan Banjar bergelar Pangeran Bagus Laxmi Indahpermana Indrasasti.Kini, diusianya yang ke 81 tahun, pria yang mengawali karir militernya di medan perjuangan sejak tahun 1947 itu, terbaring sakit dalam kesendirian di usia uzur dirumahnya, di Jalan H Taiman No. 42, Kampung Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Sebagai tetuha masyarakat Banjar, dia adalah sosok yang berhasil. Selain di militer, dia merupakan sosok seniman yang patut dihargai, khususnya oleh masyarakat dari tanah leluhurnya. Dalam dunia berkesenian, dia lebih dikenal dengan nama Sam Saroza. Nama ini lekat dengan nama-nama besar dalam dunia seni musik tanah air, seperti Ismail Marzuki, Bing Slamet, Iskandar dan Sudharnoto.

Di usia senjanya, dia menyimpan kuat kenangan kenangan masa mudanya tentang lagu-lagu abadi yang hingga kini masih bertahan. Sebutlah lagu-lagu seperti Sepasang Mata Bola, Haryati, Sabda Alam, Payung Pantasi, Sampul Surat, Surat Undangan, Sakura, Setangkai Bunga Mawar nan Merah, dan Kau Ku Jelang.

Syair-syair lagu itu adalah sebuah kenyataan yang berhasil diabadikannya dalam bentuk syair. Syair itulah kemudian dipoles oleh seniman musik yang juga sahabatnya, seperti Ismail Marzuki menjadi sebuah lagu. Namun dia tidak mempersoalkan siapapun yang kemudian mengakui sebagai pencipta atas lagu-lagu itu. Baginya, yang penting masyarakat penikmat lagu-lagu itu senang. Hal itu pun cukup menjadi sebuah kebahagian baginya.

Di karir militernya, lelaki berdarah Amuntai, Hulu Sungai Utara (HSU) ini sejak zaman perjuangan sudah berkiprah di pusat pemerintahan negeri ini, Jakarta. Di masa mudanya, dia aktif dalam bidang kemiliteran.Karir di medan perjuangan dimulainya sejak tahun 1947. Berpangkat Letnan I, dia dipercaya sebagai Komandan Batalyon ALRI Divisi IV Kalimantan, berkedudukan di Martapura dan Pelaihari. Dalam sejarahnya, pada 1 November 1949, ALRI Divisi IV Kalimantan dilikuidasi menjadi Kesatuan Angkatan Darat Divisi Lambung Mangkurat dengan panglimanya Letnan Kolonel Hasan Basry.

Berselang satu tahun sejak likuidasi itu, Zagloelsyah yang kala itu berpangkat Letnan I pindah ke Banjarmasin, tepatnya pada tahun 1950, dengan jabatan Kepala Staf Komando Basis di Banjarmasin. Setahun kemudian, tahun 1951, Letnan I Zagloelsyah dipromosikan ke Jakarta dengan pangkat Kapten, dan selanjutnya dipercaya menjabat Paban I Markas Angkatan Darat (MABAD) di tahun 1954. Dia pernah pula menjabat sebagai Asisten I CADUAD dalam operasi perebutan Irian Barat (Trikora)) tahun 1961.

Kemudian, terhitung sejak 1 Januari 1965, Mayor TNI AD Zagloelsyah menduduki jabatan Pembantu Koordinator Bidang Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI.Setelah sempat mengabdi di bidang sipil sejak kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel pada tahun 1967, karir militernya dilanjutkan menjadi Atase Pertahanan RI di Pakistan. Sedangkan di tahun 1971 dengan jabatan yang sama ditugaskan di India dan pada tahun 1973 sebagai Atase Pertahanan di Malaysia.

Setelah kenaikan pangkat menjadi Kolonel pada tahun 1975, ayah dari tujuh putera ini kembali ke Jakarta dan bertugas di Kadissus Luri Departemen Luar Negeri RI. Dalam sebuah pertemuan dengan penulis, dia mengaku sejak terbaring sakit, belum ada satupun perwakilan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalsel datang membesuk. Begitu pula dengan pihak Kantor Perwakilan Pemprov Kalsel di Jakarta.

Namun demikian, dia mengaku tidak mempermasalahkan hal itu. Dan tidak merasa dilupakan atau terlupakan. Meski begitu, dia mengaku bersyukur. Pasalnya, warga Jakarta yang tergabung dalam Kerukunan Warga Kalimantan Selatan (KWKS) kerap datang menjenguk. Terlebih pengurus Yayasan Gawi Sabumi, yang terus memberikan perhatian kepadanya melalui HM Tarmidji, Pengurus I yayasan tersebut, yang kerap membesuknya sebagai perwakilan yayasan warga Banjar di Jakarta itu.

Sosoknya yang rendah hati nampak dikeinginannya kini. Agar semua yang telah dilakukannya, baik di bidang militer ataupun kesenian, tidak perlu dibesar-besarkan. Satu keinginan lainnya dari dia adalah memilik tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, kelak kala Sang Khalik memanggilnya. Dia lebih memilih Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur, sebagai tempat peristirahatnnya yang terakhir kelak. Alasannya, dia berasal dari rakyat dan kembali ke rakyat.

Zagloelsyah mengalami sakit sejak terjatuh yang mengakibatkan tangan kirinya patah serta bagian tulang belakangnya cacat. Kini dia tidak bisa duduk normal. Karenanya, ketika harus melakukan pemeriksaan kesehatannya ke Rumah Sakit (RS) Fatmawati, tempatnya biasa berobat, tubuhnya selalu dibaringkan di mobil yang membawanya.

Rabu, 09 April 2008

Pornografi Dan Genderang Perang

Pornografi Dan Genderang Perang

Oleh: Deny M Yunus

Seiring perkembangan zaman, kehidupan berbangsa di negeri Indonesia Raya ini semakin seru saja. Dari satu masalah yang belum tuntas, muncul masalah lain yang entah kapan selesai. Kini yang masih ramai diperdebatkan adalah soal Rancangan Undang Undang Pornograpi dan Pornoaksi (RUU APP). Di masyarakat muncul dua kelompok, pro dan kontra.

Dengan aksi turun ke jalan, keduanya saling berlomba menekan penguasa (pemerintah) agar mengakomodasi pendapat mereka. Tak jarang saling melontarkan nada saling ancam, dan merasa pendapat merekalah yang paling benar dan wajib didengar.

Mereka yang kontra RUU APP, dengan dalih kreativitas berkesenian ngotot bahwa yang mereka lakukan bukan pornografi dan pornoaksi. Mereka menuding lawan mereka adalah orang yang awam tentang berkesenian, tak bisa membedakan sebuah karya seni dan pornografi atau pornoaksi. Atau selera berkeseniannya sangat rendah, berbeda dengan bangsa lain yang bisa menghargai sebuah karya seni.

Apakah mereka bisa membedakan mana karya seni, dan mana pornografi atau pornoaksi? Tak jelas, contohnya majalah Playboy versi Indonesia yang beberapa hari lalu terbit perdana. Mereka bilang itu bukan majalah porno. Padahal, jelas-jelas di negeri asalnya --kalau tidak salah-- asli majalah porno.

Hanya, di negeri asalnya peredaran majalah itu diatur jelas dengan tidak diperjualbelikan secara bebas. Aparat hukumnya punya dedikasi cukup tinggi untuk menegakkan aturan perundang-undangannya. Majalah itu hanya boleh dijual kepada mereka yang cukup umur, dilarang bagi calon pembeli di bawah umur.

Sementara dinegeri ini, janji penerbit majalah ini akan dijual di outlet tertentu, tidak terbukti. Majalah ini dijual bebas, di pedagang asongan di persimpangan lampu merah pun ada (BPost, Minggu (9/4)), seperti yang dikeluhkan beberapa tokoh di negeri ini.

***

Di hari perdana beredarnya dan di tengah laku kerasnya majalah ini, berbagai protes diteriakan mereka yang pro RUU APP. Dengan dalih menjaga akhlak generasi muda, mereka tidak segan berbondong-bondong meneriakkan penolakan. Bahkan, kata siap perang pun dilontarkan. Entah disadari atau tidak, dan terkesan tidak mau peduli pada risikonya nanti kalau genderang perang ini benar-benar ditabuh. Apakah memang ini jalan yang harus ditempuh sebuah bangsa yang memimpikan demokratisasi?

Bukan bermaksud menyepelekan, permasalahan ini terkesan nyaris lebih penting ketimbang persoalan lain. Misalnya, berbagai persoalan yang berkaitan langsung dengan hidup matinya anak manusia di negeri ini. Apakah tidak lebih penting?

Memang, kematian adalah sah sebagai sebuah takdir. Kematian adalah hal yang pasti. Hanya, persoalannya kapan dan bagaimana kematian itu datang menjemput. Apakah menjadi suspect flu burung, atau korban tanah longsor dan banjir bandang, busung lapar? Atau juga mungkin kena serangan jantung, stroke karena divonis menjadi koruptor.

Mengemukakan pendapat tentu sah-sah saja. Tapi kalau menabuh genderang perang, repot urusannya. Biasanya pakai senjata, entah tumpul atau tajam. Minimal berdarah-darah, kalau tidak mati. Kalau yang tewas itu yang berperang, tak masalah. Kalau salah sasaran, mereka yang tidak tahu menahu persoalan harus menjadi korban, kehilangan orangtua, anak, kakak atau adik. Terus, sampai kapan bangsa ini mau belajar menyelesaikan persoalan tanpa harus menyisakan duka?

* Alumnus FISIP Unlam, tinggal di Banjarmasin
e-mail: deny_yunus@yahoo.com

Jumat, 22 Februari 2008

HUZAI JUNUS DJOK MENTAYA

 
Pemimpin redaksi dan pemimpin umum Banjarmasin Post ini mempunyai cara tersendiri untuk 
menjaring pembaca. Sejak akhir 1970-an orang yang oleh rekan sejawatnya dikenal selalu 
meriah ini memasarkan korannya lewat mobil-mobil pengecer yang berpengeras suara dan 
memperdengarkan lagu-lagu Melayu. Untuk menembus kawasan Sungai Kapuas, ia menggunakan perahu klotok bermesin tempel 5 PK, yang juga mendendangkan musik kesukaan banyak orang itu.
Ada juga sepeda motor, untuk ke kampung- kampung. ''Problemnya bukan karena daya beli penduduk kurang,'' kata lelaki yang lebih sering dipanggil Djok itu. ''Tapi, minat baca mereka yang memang harus terus dipancing.'' 
Terbit pertama dengan 1.000 eksemplar, 1971 -- dan itu pun per minggu, meskipun SIT-nya harian -- oplah Banjarmasin Post pada 1985 tidak beranjak jauh dari 25 sampai 30 ribu. Dengan oplah sekian itu, toh sudah 20-an karyawannya menempati rumah dinas. Di koran ini, kata Djok, ''Karyawan percetakan juga punya saham kolektif, bukan hanya wartawannya. Maka, dengan diberlakukannya SIUPP saya tidak kikuk.''
Koran pusat tidak dianggapnya sebagai saingan. ''Yang terjadi di halaman rumah sendiri lebih menarik, dibanding yang jauh- jauh,'' katanya.
Sebelum mendirikan Banjarmasin Post, Djok aktif sebagai redaktur Mimbar Mahasiswa -- koran kampus yang antara lain berfungsi sebagai corong KAMI di Universitas Lambung Mangkurat.  Universitas ini merupakan tempat kuliah Djok yang terakhir, setelah sebelumnya sempat mengenyam bangku kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Di Lambung Mangkurat pun, Djok tidak langsung ke jurusan sosial politik, tetapi lebih dahulu ke 
fakultas ekonomi.
Bekas Ketua Presidium IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) Pusat ini memang pernah bekerja di Bank Indonesia Cabang Surabaya -- tidak lama setelah ia keluar dari PT Pantja Niaga. Jauh sebelum itu semua, setelah lulus SMA di Banjarmasin, ia sempat mencoba jadi petinju, binaragawan, dan atlet angkat besi.
Ayahnya, Haji Muhamad Seman Junus, pensiunan guru SD di Sampit, Kalimantan Tengah. Menikah  dengan Rusdiana, 1965, Djok kini ayah empat anak.
---------------
Nama :
HUZAI JUNUS DJOK MENTAYA

Lahir :
Sampit, Kalimantan Tengah, 19 Juli 1939

Agama :
Islam

Pendidikan :
- SD Negeri, Sampit (1952)
- SMP Negeri, Sampit (1956)
- SMA Negeri, Banjarmasin (1959)
- FH Universitas Airlangga, Surabaya (1960)
- FE Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin (1961)
- Fakultas Sospol Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin (1983)


Karir :
- Karyawan PT Pantja Niaga
- Pegawai Bank Indonesia (1961)
- Bekerja di PN Pantja Niaga (1962)
- Sekretaris Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia Banjarmasin (1964)
- Ketua Presidium Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia Pusat
- Ketua Presidum KAMI Kal-Sel (1966)
- Pemimpin Umum Mimbar Mahasiswa (1967)
- Pimpinan Umum/Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post (1977- sekarang)
- Direktur PT Grafika Wangi (sekarang)


Kegiatan Lain :
- Ketua/Anggota Pertimbangan SPS Pusat (1979)
- Anggota Dewan Pers (1983)

Alamat Rumah :
Jalan Nagasari 113, Banjarmasin Telp: 3584

Alamat Kantor :
Jalan Haryono M.T. 54 & 143, Banjarmasin Telp: 4370, 3266, 3120

*tempo interaktif

Kamis, 24 Januari 2008

Guru, Perjuangan Dan Musuh Bersama

Guru, Perjuangan Dan Musuh Bersama

Oleh: Erdeny M Yunus

Di negeri ini Republik Indonesia, profesi guru masih kerap digamkan dengan sosok seorang pekerja yang naik sepeda kumbang butut. Ini bukan karena seorang guru adalah sosok yang peduli terhadap tercemarnya lingkungan akibat polusi kendaraan bermotor. Atau, bukan karena guru adalah sosok teladan yang ikut menggalakkan program mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga. Sekali lagi bukan. Tapi ini lebih dikarenakan, jumlah guru yang diasumsikan sekitar 1,6 juta, sebagian besar mereka dari sisi ekonomi kehidupannya jauh dari kata sejahtera.

Banyaknya guru yang tidak sejahtera, bukan satu-satunya persoalan pendidikan nasional yang tengah dihadapi negeri ini. Tidak sampainya dana pendidikan untuk memperbaiki gedung sekolah yang nyaris roboh. Minimnya alokasi dana pendidikan yang disediakan pemerintah untuk memperbaiki atap sekolah yang bocor ketika hujan turun. Atau juga ketidakmampuan orangtua untuk menyekolahkan anak mereka, karena mahalnya biaya pendidikan. Hal ini pun mewarnai persoalan pendidikan nasional, dan tentunya banyak lagi.

Oleh banyak kalangan, pemerintah dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan ini. Ya, pemerintah memang pihak yang paling bertanggungjawab, selain masyarakat, semua bangsa Indonesia. Karena suka atau tidak suka, pendidikan dan peran seorang guru menjadi salah faktor yang berperan bagi manusia mempelajari banyak hal dan mewujudkan cita-cita yang diinginkannya kelak.

Kalau saja, pemerintah sekarang mau sedikit menengok sejarah negeri ini. Tentu sebagai seorang yang memiliki pendidikan cukup, pemimpin bangsa Indonesia sekarang bukan orang yang buta sejarah. Hanya, entah sengaja atau tidak, mereka seakan kurang memahami makna peristiwa sejarah yang dilakukan tokoh pendiri bangsa ini dalam merebut kemerdekaan.

Misalnya, yang dilakukan Bung Hatta ‘pascaperpecahan’ Partai Nasional Indonesia yang didirikan Bung Karno pada 4 Juli 1927 yang awalnya bernama Perserikatan Nasional Indonesia. Bung Hatta memerintahkan Sutan Sjahrir, temannya sesama mahasiswa Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda, pulang ke Indonesia untuk membentuk dan memimpin Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru, sekitar 1930-an.

Didirikannya PNI Baru dengan maksud membantu golongan merdeka eks PNI yang tak mau masuk Partai Indonesia (Partindo), dalam merumuskan asas perjuangan dan program politik PNI Baru yang didirikan sebagai organisasi pendidikan kader politik untuk perjuangan kemerdekaan, kedaulatan rakyat dan martabat manusia.

Bung Hatta yang kemudian menggantikan Bung Sjahrir memimpin PNI Baru usai studi di negeri Belanda, harus rela berurusan dengan pemerintah kolonial dan bahkan diasingkan ketika itu.

Ketika itu banyak wadah perjuangan lain yang menjadikan pendidikan sebagai bagian dari garis perjuangan mereka. Tentunya adalah pendidikan politik, karena sesuai dengan kondisi saat itu. Muncul keinginan besar untuk menjadi bangsa yang merdeka bebas dari kekangan penjajah. Dengan berbagai garis perjuangan itu pula, salah satunya pendidikan, pemimpin ketika itu berhasil mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan.

Untuk itu, sudah sepantasnya generasi sekarang mengisi kemerdekaan seperti yang dicita-citakan pemimpin terdahulu. Salah satunya dengan menciptakan pendidikan yang lebih baik guna mencapai kesejahteraan rakyat.

Susah, kalau hanya berharap kepada pemerintah. Lihat saja beberapa kali pergantian tampuk kepemimpinan, kesejahteraan guru hanya sampai pada janji kampanye, tidak lebih. Setiap kali musim pemilu dan pilkada yang baru pertama kali dilaksanakan di negeri ini, semua pasangan calon menjanjikan memperhatikan nasib guru, memperbaiki pendidikan bahkan ada yang menjanjikan sekolah gratis. Hasilnya, kesejahteraan guru tak kunjung terwujud, pendidikan nasional juga tak beranjak dari segala carut marutnya.

Di berbagai kesempatan, guru terus menuntut pemerintah agar lebih peduli terhadap nasib mereka. Tampaknya perjuangan menuntut perbaikan kesejahteraan, menjadi tekad guru sekarang. Selain tugas utama mereka sebagai seorang pendidik. Tapi bukannya mendapat tanggapan positif, malah mendapatkan jawaban dari seorang pemimpin bahwa guru itu tak seharusnya mengeluh.

Disahkannya UU tentang Guru dan Dosen, dinilai banyak kalangan mengecewakan, karena sangat jauh dari semangat naskah awal RUU (Kompas, Rabu, 7/12). Disebutkan, gaji guru ditetapkan sebesar dua kali gaji pokok PNS plus tunjangan fungsional sebesar 50 persen dari gaji pokok PNS. Setelah disahkan menjadi UU, disebutkan pemerintah hanya akan memberikan subsidi tunjangan profesi kepada guru swasta. Berapa besar tunjangan itu, tidak disebutkan.

Belakangan, ada tingkah oknum guru yang menciptakan sikap kurang simpatik masyarakat terhadap profesi guru. Di tengah mahalnya biaya sekolah, ada saja guru yang memaksa siswa untuk membeli buku pelajaran, hanya karena si guru ingin mendapatkan keuntungan (fee) dari penerbit. Atau yang lebih menyedihkan, adanya oknum guru yang mengajak siswinya berpesta gituan. Tapi suka atau tidak suka, pada prinsipnya guru adalah satu faktor yang cukup mempengaruhi pembangunan sumber daya manusia bangsa ini kelak.

Ada baiknya kalau guru tidak mudah percaya terhadap janji pada masa kampanye baik pemilu maupun pilkada, dan tidak terlalu berharap kepada pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi ini melalukan program yang dapat menyejahterakan anggotanya. Berharap kepada pemerintahan hanya sebuah mimpi.

Melalui organisasi profesinya, misalnya, guru menyusun barisan dan menciptakan ‘musuh bersama’. Biasanya, dengan menciptakan ‘musuh bersama’, sebuah perjuangan akan berjalan lebih efektif. ‘Musuh bersama’ itu adalah mereka yang selama ini dianggap kurang peduli dan tidak memperhatikan nasib guru, bahkan terkadang melecehkan.

Tidak perlu jauh-jauh dalam menciptakan ‘musuh bersama’ ini, karena mereka yang dianggap layak untuk dijadikan ‘musuh bersama’ itu tak lain ada di negeri ini, bagian dari bangsa ini. ‘Musuh bersama’ itu adalah mereka yang mengatasnamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat dengan iming-iming Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang sebelumnya menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Dengan dalih, subsidi BBM hanya menguntungkan orang kaya. Kemudian mengalihkan subsidi itu ke bidang pendidikan dan kesehatan yang hingga kini masih terus bermasalah.

Atau mereka yang dengan dalih menekan inflasi, mengeluarkan kebijakan impor beras. Sementara petani kalang kabut karena harga beras mereka bakal anjlok di pasar. Merekalah ‘musuh bersama’ yang harus dilawan guru, buruh, petani dan rakyat miskin lainnya.

* Alumnus Fisip Unlam Banjarmasin
tinggal di Banjarmasin
e-mail: deny_yunus@yahoo.com

Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Rabu, 14 Desember 2005 00:55