Pornografi Dan Genderang Perang
Oleh: Deny M Yunus
Seiring perkembangan zaman, kehidupan berbangsa di negeri Indonesia Raya ini semakin seru saja. Dari satu masalah yang belum tuntas, muncul masalah lain yang entah kapan selesai. Kini yang masih ramai diperdebatkan adalah soal Rancangan Undang Undang Pornograpi dan Pornoaksi (RUU APP). Di masyarakat muncul dua kelompok, pro dan kontra.
Dengan aksi turun ke jalan, keduanya saling berlomba menekan penguasa (pemerintah) agar mengakomodasi pendapat mereka. Tak jarang saling melontarkan nada saling ancam, dan merasa pendapat merekalah yang paling benar dan wajib didengar.
Mereka yang kontra RUU APP, dengan dalih kreativitas berkesenian ngotot bahwa yang mereka lakukan bukan pornografi dan pornoaksi. Mereka menuding lawan mereka adalah orang yang awam tentang berkesenian, tak bisa membedakan sebuah karya seni dan pornografi atau pornoaksi. Atau selera berkeseniannya sangat rendah, berbeda dengan bangsa lain yang bisa menghargai sebuah karya seni.
Apakah mereka bisa membedakan mana karya seni, dan mana pornografi atau pornoaksi? Tak jelas, contohnya majalah Playboy versi Indonesia yang beberapa hari lalu terbit perdana. Mereka bilang itu bukan majalah porno. Padahal, jelas-jelas di negeri asalnya --kalau tidak salah-- asli majalah porno.
Hanya, di negeri asalnya peredaran majalah itu diatur jelas dengan tidak diperjualbelikan secara bebas. Aparat hukumnya punya dedikasi cukup tinggi untuk menegakkan aturan perundang-undangannya. Majalah itu hanya boleh dijual kepada mereka yang cukup umur, dilarang bagi calon pembeli di bawah umur.
Sementara dinegeri ini, janji penerbit majalah ini akan dijual di outlet tertentu, tidak terbukti. Majalah ini dijual bebas, di pedagang asongan di persimpangan lampu merah pun ada (BPost, Minggu (9/4)), seperti yang dikeluhkan beberapa tokoh di negeri ini.
***
Di hari perdana beredarnya dan di tengah laku kerasnya majalah ini, berbagai protes diteriakan mereka yang pro RUU APP. Dengan dalih menjaga akhlak generasi muda, mereka tidak segan berbondong-bondong meneriakkan penolakan. Bahkan, kata siap perang pun dilontarkan. Entah disadari atau tidak, dan terkesan tidak mau peduli pada risikonya nanti kalau genderang perang ini benar-benar ditabuh. Apakah memang ini jalan yang harus ditempuh sebuah bangsa yang memimpikan demokratisasi?
Bukan bermaksud menyepelekan, permasalahan ini terkesan nyaris lebih penting ketimbang persoalan lain. Misalnya, berbagai persoalan yang berkaitan langsung dengan hidup matinya anak manusia di negeri ini. Apakah tidak lebih penting?
Memang, kematian adalah sah sebagai sebuah takdir. Kematian adalah hal yang pasti. Hanya, persoalannya kapan dan bagaimana kematian itu datang menjemput. Apakah menjadi suspect flu burung, atau korban tanah longsor dan banjir bandang, busung lapar? Atau juga mungkin kena serangan jantung, stroke karena divonis menjadi koruptor.
Mengemukakan pendapat tentu sah-sah saja. Tapi kalau menabuh genderang perang, repot urusannya. Biasanya pakai senjata, entah tumpul atau tajam. Minimal berdarah-darah, kalau tidak mati. Kalau yang tewas itu yang berperang, tak masalah. Kalau salah sasaran, mereka yang tidak tahu menahu persoalan harus menjadi korban, kehilangan orangtua, anak, kakak atau adik. Terus, sampai kapan bangsa ini mau belajar menyelesaikan persoalan tanpa harus menyisakan duka?
* Alumnus FISIP Unlam, tinggal di Banjarmasin
e-mail: deny_yunus@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar